SELAMAT DATANG.. AHLAN WA SAHLAH

Semoga Blog ini bisa bermanpaat dan memberikan manpaat

Senin, 19 April 2010

Fiqh Prioritas oleh Dr. Yusuf Qardhawi

FIQH PRIORITAS DALAM WARISAN PEMIKIRAN KITA

BARANGSIAPA yang mau menelusuri warisan pemikiran umat yang
sangat kaya ini, maka dia akan menemukan para ulama yang
memberikan perhatian besar terhadap fiqh prioritas dan
mewaspadai kelalaian terhadapnya, dalam berbagai bentuk yang
tersebar di dalam sumber-sumber rujukan Islam yang
bermacam-macam; yang dapat ditelusuri dalam baris-baris
berikut ini.

MENGENAI HARAMNYA ORANG YANG SEDANG IHRAM MEMBUNUH LALAT

Barangkali pertama-lama kita patut memberikan perhatian
terhadap persoalan ini. Yaitu riwayat yang shahih, berasal
dari Abdullah bin Umar r.a. yang diriwayatkan oleh Ibn Abu
Nu'aim yang berkata, "Ada seorang lelaki datang kepada Ibn
Umar dan pada saat itu saya sedang duduk. Lelaki itu bertanya
kepadanya tentang darah nyamuk." Dalam riwayat yang lain
disebutkan: "Lelaki itu bertanya kepadanya tentang haramnya
membunuh lalat." Maka Ibn Umar berkata kepadanya: "Berasal
dari manakah engkau ini?" Lelaki itu menjawab, "Berasal dari
Irak." Ibn Umar berkata lagi: "Ha, lihatlah lelaki ini. Dia
bertanya tentang darah nyamuk, padahal mereka telah membunuh
anak Rasulullah saw!! Padahal aku pernah mendengar Rasulullah
saw bersabda, ,Kedua anak ini --al-Hasan dan al-Husain--
merupakan hiburanku di dunia." Dalam riwayat yang lain
disebutkan: "Penduduk Irak bertanya tentang lalat, padahal
mereka telah membunuh cucu Rasulullah saw..." 1

Al-Hafiz Ibn Hajar ketika memberikan penjelasan hadits ini di
dalam Fath al-Bari mengatakan, "Ibn Umar meriwayatkan hadits
ini dengan penuh keheranan terhadap semangat penduduk Irak
yang menanyakan perkara kecil, tetapi mereka melanggar perkara
yang besar." 2

Ibn Battal berkata, "Ada satu pelajaran yang dapat kita ambil
dari hadits tersebut, yaitu bahwa seseorang harus mendahulukan
perkara agama yang lebih penting bagi dirinya. Karena
sesungguhnya Ibn Umar tidak senang terhadap orang yang
bertanya kepada dirinya tentang darah nyamuk, padahal dia
meninggalkan istighfar dari dosa besar yang dilakukannya;
yaitu dengan memberikan bantuan terhadap pembunuhan al-Husain.
Ibn Umar mencela orang tersebut, dan mengingatkan peristiwa
itu karena besar dan tingginya kedudukan al-Husain di sisi
Nabi saw." 3

Ketidaksenangan Ibn Umar bukanlah terhadap orang yang bertanya
itu, tetapi dia bermaksud mengingkari trend pemikiran pada
suatu kelompok manusia yang hendak memperdalam perkara-perkara
yang kecil, dan menyibukkan diri mereka di situ, dan pada masa
yang sama mereka mengabaikan perkara-perkara yang besar.

Apa yang terjadi pada masa Ibn Umar juga terjadi pada anaknya,
Salim, juga dengan penduduk Irak. Mereka bertanya kepadanya
tentang sebagian perkara kecil, padahal dalam saat yang sama
mereka terjebak dalam perkara-perkara besar, yakni pembunuhan
dan penumpahan darah antara sebagian mereka dengan sebagian
yang lain. Dia memberikan peringatan yang sangat keras
terhadap hal itu dengan menyampaikan suatu hadits yang shahih:
"Setelab kepergianku janganlah kamu menjadi kafir kembali, di
mana sebagian dan kamu membunuh sebagian yang lain."

Muslim meriwayatkan dalam kitab al-Fitan, dari Salim bin
Abdullah bahwasanya dia berkata, "Wahai penduduk Irak, apakah
sebenarnya yang membuat kamu bertanya tentang perkara-perkara
yang kecil, dan yang menjadikan kamu melakukan dosa besar. Aku
mendengar ayahku, Abdulla ibn Umar berkata, Aku mendengar
Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya fitnah akan muncul dari
sini --sambil tangan beliau saw menunjuk ke arah timur-- di
mana dua tanduk setan akan muncul dari sana." Sekarang ini
sebagian kamu membunuh sebagian yang lain, dan sesungguhnya
Musa pernah salah bunuh, kemudian Allah SWT berfirman, "...
dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu Kami selamatkan
kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa
cobaan..."

Di antara warisan fiqh prioritas dalam warisan pemikiran kita
ialah sebuah risalah yang sangat cemerlang, yang diriwayatkan
oleh al-hafizh Ibn 'Asakir dalam riwayat hidup Abdullah bin
al-Mubarak, dari Muhammad bin Ibrahim bin Abu Sukainah yang
berkata, "Abdullah bin al-Mubarak mendiktekan kepadaku
bait-bait syair ini di Tarsus, ketika itu aku meminta izin
kepadanya untuk keluar. Dia memperdengarkan bait-bait syair
itu bersamaku kepada al-Fudhail bin 'Iyadh pada tahun seratus
tujuh puluh." Dalam riwayat yang lain disebutkan pada tahun
seratus tujuh puluh tujuh.

Wahai para ahli ibadah di al-Haramain, kalau kamu
menyaksikan kami, maka kamu akan mengetahui bahwa
sesungguhnya kamu bermain-main dalam ibadah. Kalau
orang-orang membasahi pipinya dengan air mata yang
mengucur deras, maka dengan pengorbanan kami, kami
mengucurkan darah yang lebih deras. Kalau kuda
orang-orang kepenatan dalam perkara yang batil, maka
sesungguhnya kuda-kuda kami penat dalam melakukan
penyerbuan dan peperangan di pagi hari. Bau wewangian
menjadi milikmu, sedangkan bau wewangian kami, adalah
debu-debu jalanan dan debu-debu itu lebih wangi. Telah
datang kepada kami sabda Nabi kami. Sabda yang benar,
jujur dan tidak bohong. Tidak sama debu kuda-kuda Allah
di hidung seseorang dan asap api yang menyala-nyala;
Inilah kitab Allah yang berbicara kepada kami, Bahwa
orang yang mati syahid tidak diragukan lagi tidak sama
dengan orang yang mati biasa.

Ibrahim berkata, "Kemudian aku pernah berjumpa dengan
al-Fudhail bin 'Iyadh yang membawa tulisan itu di masjid
al-Haram. Ketika membacanya, kedua matanya mengucurkan air
mata sambil berkata, 'Abu Abdurrahman benar ketika dia
memberikan nasihat kepadaku.'", Ibrahim berkata lagi: "Apakah
kamu termasuk salah seorang yang menulis riwayat ini?" Dia
menjawab, "Ya." Ibrahim berkata kepadanya, "Tulislah riwayat
tersebut sebagai orang yang pernah melihat peristiwa itu dan
yang membawa tulisan dari Abu Abdurrahman kepada kami.
Kemudian al-Fudhail mendiktekan kepada kami: Manshur bin
al-Mu'tamir meriwayatkan kepada kami, dari Abu Shalih, dari
Abu Hurairah r.a. bahwasanya ada seorang lelaki berkata kepada
Rasulullah saw, 'Wahai Rasulullah, ajarkan kepadaku suatu
amalan yang aku dapat memperoleh pahala orang-orang yang
berjihad di jalan Allah.' Maka Rasulullah saw menjawab,
'Apakah engkau dapat melakukan shalat dan puasa secara
terus-menerus?' Lelaki itu menjawab, 'Wahai Rasulullah, aku
terlalu lemah untuk melakukan hal itu.' Maka Nabi saw
bersabda, 'Demi yang diriku berada di tangan-Nya, kalau kamu
mampu melakukan hal itu maka kamu tidak dapat mencapai
angkatan orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Atau kamu
tidak mengetahui bahwa sesungguhnya kuda yang berperang akan
mendapatkan pahala, sehingga berbagai kebaikan dituliskan
untuknya."

Kisah di atas disebutkan dalam salah satu seminar tentang
pemikiran Islam di Aljazair, lalu salah seorang tokoh juru
da'wah menolaknya, dan tidak membenarkan bahwa cerita itu
memiliki dasar yang benar. Karena bagaimana Ibn al-Mubarak
menamakan ibadah di al-Haramain sebagai suatu permainan? Yang
jelas, kisah itu benar. Ibn 'Asakir menyebutkan kisah itu
berikut sanadnya dalam riwayat hidup Abdullah bin al-Mubarak,
kemudian dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam tafsirnya, di
akhir surat Ali 'Imran,4 yang mengaku kebenaran kisah
tersebut. Al-Hafiz al-Dzahabi juga menyebutkan riwayat hidup
Ibn al-Mubarak dalam ensiklopedianya, Siyar A'lam an-Nubala' 5
Dalam kisah itu tidak ada pernyataan yang bertentangan dengan
aqidah Islam dan nash-nashnya, bahkan Ibn al-Mubarak
mempergunakan dalil dari al-Qur'an dan sunnah Nabi saw dalam
menggubah syairnya, sebagaimana dikuatkan oleh ahli ibadah dan
zuhud, al-Fudhail, yang pernah didikte oleh Ibn al-Mubarak.

Tokoh kita, al-Bahi al-Khuli, menyebutkannya dalam bukunya
yang terkenal, Tadzkirah ad-Du'at, dan memberikan komentar
atas kisah itu sebagai berikut:

"Ibn al-Mubarak menulis perkataan.ini untuk sahabatnya,
al-Fudhail, pada saat jihad belum menjadi fardhu ain.
Walaupun demikian dia menilai ibadahnya sebagai suatu
permainan, pada hal ibadah itu dilakukan di tempat yang
paling mulia di muka bumi ini. Tahukah kamu apa yang
akan dikatakan oleh Ibn al-Mubarak kalau jihad telah
menjadi fadhu ain? Dan apa yang akan dikatakan olehnya
tentang ibadah di luar masjid al-Haram?" 6

Tetap Bergaul dengan Masyrakat ketika Terjadi Kerusakan Moral
ataukah Mengucilkan Diri dari Mereka?

Di antara warisan pemikiran para ulama terdahulu yang dapat
kita ikuti sekarang ini ialah topik pembahasan mengenai
persoalan manakah yang lebih utama bagi seorang Muslim pada
saat terjadinya fitnah dan menyebarnya kemaksiatan dan
kerusakan. Apakah dia harus ikut serta menceburkan diri dalam
masyarakat ataukah berusaha untuk memperbaikinya, atau
memencilkan diri dari mereka dan menyelamatkan diri sendiri.

Orang-orarg sufi... kebanyakan lebih memilih tindakan yang
kedua. Sedangkan ulama rabbani dan pejuang lebih mementingkan
jalan para nabi. Yakni tetap bergaul dan berusaha memperbaiki
mereka dengan penuh kesabaran dalam menerima siksaan yang
dilakukan oleh manusia.

Ibn Umar meriwayatkan dari Nabi saw,

"Orang beriman yang tetap bergaul dengan manusia dan
bersabar atas gangguan mereka adalah lebih baik
daripada orang yang tidak mau bergaul dengan mereka dan
tidak bersabar atas gangguan mereka." 7

Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam buku Ihya'-nya memberikan
komentar di sekitar keuntungan dan kerugian memencilkan diri
dan tetap bergaul dengan mereka.

Topik lainnya yang juga menjadi pembahasan mereka ialah
tentang dunia dan kekayaannya. Manakah yang lebih utama kita
menggeluti dunia dan kemewahannya, ikut serta melakukan
kesibukan dalam urusan dunia bersama mereka dan ikut merasakan
kenikmatannya dengan tetap memperhatikan batas-batas yang
ditetapkan oleh Allah SWT; ataukah kita memalingkan diri
darinya dan menjauhinya, serta menjauhi orang kaya, perhiasan
dunia, dan harta kekayaannya?

Kebanyakan orang sufi lebih memilih tindakan yang kedua, akan
tetapi ulama rabbani yang benar dari ulama umat ini lebih
memilih tindakan yang pertama; sebagaimana yang dilakukan oleh
para nabi. Seperti Nabi Yusuf, Dawud, dan Nabi Sulaiman, serta
para tokoh senior sahabat Rasulullah saw, seperti Utsman,
Abdurrahman bin Auf, Talhah, Zubair, Sa'ad, dan lain-lain

Al-Allamah Abu al-Faraj ibn al-Jawzi (w. 597 H.) menolak sikap
para sufi yang mencela dunia secara mutlak, dan menganggapnya
sebagai suatu keburukan dan bencana, serta tidak mau
memilikinya dan mencarinya walaupun kekayaan itu halal. Ibn
al-Jawzi dalam buku kritiknya, Talbis Iblis, mempergunakan
dalil yang berasal dari al-Qur'an, sunnah Rasulullah saw,
petunjuk para sahabat, dan kaidah-kaidah syari'ah agama.

MENINGGALKAN LARANGAN ATAU MELAKUKAN KETAATAN?

Di antara warisan itu ada juga pembahasan tentang manakah yang
lebih utama dan diprioritaskan di sisi Allah, meninggalkan
larangan dan yang diharamkan ataukah mengerjakan perintah-Nya
dan mentaati-Nya?

Sebagian ulama mengatakan, "Meninggalkan larangan lebih
penting daripada melakukan perintah." Mereka mengeluarkan
pernyataan itu berdasarkan dalil hadits shahih yang disepakati
keshahihannya, yang disebutkan oleh al-Nawawi dalam
al-Arbain-nya, dan.juga disebutkan dalam Syarh Ibn Rajab dalam
Jami'-nya; yaitu:

"Apabila aku melarangmu dari sesuatu, maka jauhilah
dia; dan apabila aku memerintahkanmu tentang suatu
perkara maka kerjakanlah dia sesuai dengan
kemampuanmu." 8

Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa larangan lebih
diutamakan daripada perintah, karena sesungguhnya dalam
larangan tidak dikenal adanya keringanan (rukhshah) dalam
suatu perkara, sedangkan perintah dikaitkan dengan kemampuan
orang yang hendak mengerjakannya. Pendapat ini diriwayatkan
dari Imam Ahmad

Pendapat ini serupa dengan pendapat sebagian ulama yang
mengatakan, "Amal kebajikan dilakukan oleh orang baik dan
orang yang durhaka, sedangkan kemaksiatan tidak ditinggalkan
kecuali oleh orang yang jujur."9

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Nabi saw
bersabda kepadanya,

"Hindarilah perkara-perkara yang diharamkan, niscaya
engkau akan menjadi manusia yang paling baik dalam
beribadah." 10

'Aisyah r.a. berkata, "Barangsiapa yang ingin menyaingi
kebaikan orang yang selalu bersungguh-sungguh, maka hendaklah
dia menahan diri dari berbagai dosa." Diriwayatkan dari
'Aisyah secara marfu'. 11

Al-Hasan berkata, "Tidak ada sesuatu yang dapat dipersembahkan
oleh seorang hamba kepada Tuhannya yang lebih baik daripada
meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah SWT."

Sebetulnya, riwayat yang menyebutkan keutamaan meninggalkan
hal-hal yang haram atas perbuatan ketaatan hanyalah
dimaksudkan dalam ketaatan untuk perkara-perkara yang sunnah.
Jika tidak, maka sesungguhnya jenis amalan yang wajib lebih
utama daripada jenis meninggalkan hal-hal yang haram. Karena
memang amalan itulah yang dimaksudkan, sedangkan hal-hal yang
haram itu dituntut ketidakberadaannya; dan oleh sebab itu
tidak memerlukan niat. Berbeda dengan amalan yang bila
ditinggalkan bisa menyebabkan kekufuran; seperti meninggalkan
tauhid, meninggalkan seluruh atau sebagian rukun Islam. Hal
ini akan berbeda dengan melakukan perbuatan terlarang, di mana
perbuatan itu sendiri tidak mengandung kekufuran. Hal ini
dibuktikan dengan ucapan Ibn Umar, "Sesungguhnya menolak satu
daniq (1/6 dirham) yang haram itu lebih baik daripada
menafkahkan seratus ribu daniq di jalan Allah SWT.

Diriwayatkan dari sebagian ulama salaf: "Meninggalkan satu
daniq yang tidak disukai oleh Allah SWT adalah lebih aku sukai
daripada lima ratus kali melakukan ibadah haji."

Maimun bin Mihran berkata, "Mengingat Allah dengan lidah
adalah baik, dan lebih utama lagi jika seorang hamba
mengingat-Nya saat hendak melakukan maksiat kemudian dia
mencegah diri dari melakukannya."

Ibn al-Mubarak berkata, "Penolakanku terhadap satu dirham yang
berasal dari syubhat adalah lebih aku cintai daripada
bershadaqah seratus ribu dan seratus ribu, sehingga sampai
enam ratus ribu."

Umar bin Abd al-Aziz berkata, "Ketaqwaan itu bukan berjaga dan
beribadah di malam hari, atau berpuasa di siang hari, atau
kedua-duanya sekaligus; akan tetapi ketaqwaan itu adalah
menunaikan apa yang difardhukan Allah SWT dan meninggalkan apa
yang diharamkan Allah SWT. Jika setelah itu masih ada lagi
amalan yang dapat dikerjakan, maka ia adalah kebaikan yang
ditambahkan kepada kebaikan."

Dia juga mengatakan, "Aku senang kalau aku tidak dapat
melakukan shalat selain shalat lima waktu dan shalat witir;
dapat menunaikan zakat kemudian setelah itu tidak bershadaqah
dengan satu dirham pun; berpuasa Ramadhan dan tidak berpuasa
satu hari pun setelah itu; melakukan ibadah haji kemudian
tidak melakukan haji lagi selamanya sesudah itu; lalu dengan
sisa kekuatanku, diriku ini berniat melakukan apa yang
diharamkan oleh Allah kepadaku, tetapi aku dapat mencegahnya."

Kesimpulan pendapat mereka ialah bahwa menjauhi hal-hal yang
diharamkan --walaupun jumlahnya sangat sedikit-- adalah lebih
utama daripada memperbanyak ketaatan yang hukumnya sunnah.
Karena sesungguhnya menjauhi larangan hukumnya fardhu dan
memperbanyak ketaatan dalam hal yang sunnah hukumnya sunnah.

Kelompok ulama khalaf mengatakan, "Sesungguhnya Rasulullah saw
bersabda, 'Apabila aku melarangmu dari sesuatu, maka jauhilah
dia; dan apabila aku memerintahkanmu tentang suatu perkara
maka kerjakanlah dia sesuai dengan kemampuanmu,' adalah karena
mentaati Allah SWT dalam suatu perkara tidak dapat dilakukan
kecuali dengan melakukan amalan, dan amalan itu bergantung
kepada adanya beberapa syarat dan sebab; sedangkan sebagian
sebab itu ada yang tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena itu,
Rasulullah saw mengaitkannya dengan kemampuan? sebagaimana
Allah SWT mengaitkan perintah-Nya untuk melakukan taqwa dengan
kemampuan.

"Maka bertagwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu
..." (at- Taghabun: 16)

"... mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah, (bagi) orang yang mampu melaksanakannya" (Ali
Imran: 97)

Sedangkan tuntutan pada larangan ialah meniadakan perbuatan.
Itulah hukum asalnya. Maksudnya hendaklah perbuatan itu tidak
ada untuk selama-lamanya. Sehingga tidak dikenal di dalamnya
kemampuan untuk tidak dapat melakukannya Sehubungan dengan
masalah itupun ada beberapa pandangan. Kekuatan yang mendorong
kepada perbuatan maksiat itu bisa jadi kuat, sehingga
seseorang tidak memiliki kesabaran untuk mencegah diri
darinya, padahal dia memiliki kemampuan untuk
melakukannya.Sehingga pencegahan untuk kasus seperti ini
memerlukan usaha keras, dan barangkali melebihi usaha dalam
memberikan semangat kepada jiwa seseorang untuk melakukan
ketaatan. Oleh sebab itu, banyak sekali orang yang berusaha
keras melakukan ketaatan, tetapi dia tidak kuat untuk
meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan. Umar pernah
ditanya tentang suatu umat Islam yang sangat mudah digoda oleh
kemaksiatan tetapi mereka tidak melakukan kemaksiatan
tersebut. Dia menjawab, "Mereka adalah suatu umat Muslim yang
hati mereka diuji oleh Allah SWT dalam ketaqwaan. Mereka
berhak memperoleh ampunan dan pahala yang besar." 12

Yazid bin Maisarah berkata bahwa Allah SWT berfirman dalam
sebagian kitab suci-Nya yang lain, "Wahai pemuda yang mau
meninggalkan nafsu syahwatnya, yang menghabiskan waktu
remajanya untuk-Ku, engkau di sisi-Ku adalah seperti sebagian
malaikat-Ku." 13

Dia juga berfirman, "Alanglah dahsyatnya nafsu syahwat di
dalam tubuh manusia. Ia bagaikan api yang membakar. Maka
bagaimana mungkin orang yang tak berpagar dapat selamat
darinya?" 14

Kesimpulannya, sesungguhnya Allah tidak memberikan beban
kepada para hamba-Nya untuk melakukan amal perbuatan yang
tidak mampu mereka lakukan. Dan banyak sekali amal perbuatan
yang tidak dibebankan lagi kepada mereka oleh Allah SWT hanya
karena ada kesulitan, sebagai keringanan dan rahmat bagi
mereka. Sedangkan perkara yang berkaitan dengan larangan, maka
tidak ada seorangpun yang dimaafkan apabila dia melakukannya
dengan kekuatan nafsu syahwatnya. Bahkan, Allah memberikan
beban kepada mereka untuk meninggalkannya bagaimanapun
keadaannya. Allah membolehkan seseorang untuk memakan makanan
yang diharamkan ketika dia berada di dalam keadaan darurat
untuk mempertahankan hidup, dan bukan untuk bersenang-senang
dan memuaskan nafsu syahwatnya. Atas dasar itu, kita dapat
mengetahui kebenaran apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad:
"Sesungguhnya larangan itu lebih berat daripada perintah."
Diriwayatkan dari Nabi saw, dari Tsauban, dan lain-lain
bahwasanya beliau bersabda,

"Istiqamahlah terus, tetapi kamu tidak akan
mendapatkannya." 15

Yakni tidak akan dapat mencapai derajat kesempurnaan.

Diriwayatkan oleh Ahmad, 5: 282. Darimi, 1: 168 dari al-Walid
bin Muslim: "Ibn Tsauban memberitahukan kepada saya, bahwa
Hisan bin 'Athiyah memberitahu saya bahwa Abu Kabsyah
al-Saluli berkata bahwasanya dia mendengar Tsauban berkata..."

KAYA DISERTAI SYUKUR ATAUKAH MISKIN DISERTAI SABAR?

Di antara pembahasan yang termasuk di dalam fiqh pertimbangan
atau fiqh prioritas ialah apa yang dibahas oleh para ulama
terdahulu di sekitar pertanyaan ini, "Manakah yang lebih utama
dan lebih banyak pahalanya, kaya tetapi bersyukur ataukah
miskin tetapi bersabar? Dengan kata lain: "Menjadi orang yang
kaya tetapi bersyukur atau menjadi orang miskin tetapi
bersabar?"

Jawaban atas pertanyaan itu bermacam-macam. Ada yang memilih
pernyataan pertama dan ada juga memilih yang kedua.

Bagi saya, setelah menghayati nash-nash yang berkaitan
dengannya dan melakukan kajian perbandingan atas nash-nash
tersebut, maka saya memilih pernyataan bahwa menjadi orang
kaya tetapi mau bersyukur adalah lebih utama. Untuk menjadi
orang kaya tetapi mau bersyukur adalah sesuatu yang tidak
mudah, sebagaimana dugaan orang banyak. Allah SWT berfirman:

"... Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang
berterima kasih... (Saba': 13)

Allah SWT berfirman menirukan apa yang dikatakan oleh Iblis
terlaknat:

"... Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka
bersyukur (taat). (al-A`raf: 17)

Rasulullah saw pernah memohon kekayaan kepada Allah SWT, dan
memohon perlindungan dari-Nya untuk dijauhkan dari kemiskinan.

Rasulullah saw berdoa,

"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu petunjuk,
ketaqwaan, kesucian diri, dan kekayaan." 16

"Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari
kemiskinan, kepapaan, dan kehinaan. Dan aku berlindung
kepada-Mu dari kezaliman orang dan menzalimi orang." l7

"Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari
kemiskinan, kekufuran, kefasikan, perpecahan, dan
kemunafiqan." 18

"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari
kelaparan, karena sesungguhnya ia adalah seburuk-buruk
sahabat." 19

Rasulullah saw pernah bersabda kepada Sa'ad,

"Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bertaqwa,
kaya, dan tidak menonjolkan dirinya." 20

Rasulullah saw bersabda kepada Amr'

"Wahai Amr, sebaik-baik harta ialah harta yang dimiliki
oleh orang yang shaleh." 21

Hadits "Orang-orang kaya meraih tingkat yang tinggi..."
menunjukkan bahwa orang-orang kaya apabila mereka mau
bersyukur kepada nikmat Allah, dan menunaikan haknya, maka
mereka akan mendapatkan kesempatan untuk melakukan
amalan-amalan fardhu yang tidak dapat dilakukan oleh
orang-orang miskin. Oleh karena itu dalam hadits pernah
disebutkan, "Itulah kelebihan yang diberikan oleh Allah SWT
kepada siapa saja yang dikehendakiNya." (Bukhari, 843, 6329,
dan Muslim, 595)

Allah SWT telah memuji rasul-rasul-Nya yang mulia, karena
mereka mau bersyukur kepadaNya. Seperti syaikh para rasul, Nuh
a.s., yang dipujiNya dalam firman-Nya:

" ... Sesungguhnya dia (Nuh) adalah hamba Allah yang
banyak bersyukur. (al-Isra': 3)

Dan Ibrahim bapak para nabi dan umat Islam ketika dipuji oleh
Allah SWT:

"(lagi) mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah
memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus."
(an-Nahl: 121)

Dan juga nikmat-Nya yang diberikan kepada nabi Dawud dan nabi
Sulaiman,

"...Bekerjalah hai keluarga Dawud untuk bersyukur
kepada Allah. Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku
yang berterima kasih." (Saba': 13)

Dan juga dikisahkan tentang Sulaiman a.s. yang berkata ketika
dia telah mendengar perbincangan yang dilakukan oleh semut.

"... Ya Tuhan, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri
nikmat-Mu yang telah engkau anugerahkan kepadaku dan
kepada dua orang ibu bapakku..." (an-Naml:19)

Begitu pula kisah tentang Yusuf a.s.

"... Ya Tuhanku, sesungguhnya engkau telah
menganugerahkan kepadaku, sebagian kerajaan dan telah
mengajarkan kepadaku sebagian ta'bir mimpi..." (Yusuf:
101)

Dan kenikmatan yang diberikan Allah SWT kepada rasul-Nya yang
terakhir.

"Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan,
lalu Dia memberikan kecukupan." (ad-Dhuha: 8)

"Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu
menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)." (ad-Dhuha: 11)

Serta kenikmatan yang diberikan-Nya kepada para sahabat
Rasulullah saw.

"Dan ingatlah hai para muhajirin ketika kamu masih
berjumlah sedikit, lagi tertindas di maka bumi
(Makkah), kamu takut orang-orang (Makkah) akan menculik
kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah)
dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan
diberi-Nya kamu rizki dari yang baik-baik agar kamu
bersyukur." (al-Anfal: 26).

Catatan kaki:

1 Diriwayatkan oleh Ahmad melalui dua jalan, 5675,
5568, yang di-shahih-kan oleh Syaikh Syakir dalam
duatempat. Bukhari meriwayatkannya dalam dua tempat
jua, dalam al-Manaqib (3573) dan dalam al-Adab
al-Mufrad (5994), Bukhari dan Fath al-Bari.

2 al-Fath, 7: 95, Penerbit Dar al-Fikr yang dicetak
dari al-Salafiyyah.

4 Lihat Tafsir Ibn Katsir. cet. Isa al-Halabi. 1:447

5 Lihat Siyar A'lam al-Nabala', 8: 364, 365.

6 Tadzkirah al-Du'at, h. 212.

7 Diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari dalam al-Adab
al-Mufrad; Tirmidzi, dan Ibn Majah sebagaimana yang
disebutkan dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir, 6651.

8 Muttafaq Alaih' diriwayatkan oleh Bukhari (7288); dan
Muslim (1337).

9 Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dari ucapan Sahl bin
Abdullah at-Tasturi, dalam al-Hilyah, 10: 211

1O Sabda Nabi saw ini merupakan potongan daripada
hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, 2: 310; Tirmidzi
(2305); yang dianggap hadits gharib oleh Tirmidzi. Akan
tetapi ada isnad lain dari Ibn Majah (4217) Yang
menguatkan hadits tersebut; Baihaqi dalam al-Zuhd
(818); Abu Nu'aim dalam al-Hilyah, 10: 365; yang
dianggap sebagai hadits hasan oleh al-Bushiri dalam
Misbah al-Zujajah.

11 Diriwayatkan oleh Abu Ya'la (4950). Di dalam
sanad-nya terdapat Suwaid bin Sa'id, dan Yusuf bin
Maimun. Keduanya orang yang lemah.

12 Diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Zuhd, sebagaimana
yang termuat dalam Tafsir Ibn Katsir, 7: 248; dari
Mujahid, dari Umar, tetapi dia tidak mendengarkannya
darinya, sehingga riwayat ini dianggap munaqathi'

13 Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam al-Hilyah, 5: 237

14 al-Hilyah, 5: 241

15 Hadits shahih, yang diriwayatkan oleh Ahmad, 5: 276,
277, 282; Darimi, 1: 168; Ibn Majah, 288 dari Salim bin
Abu Ja'd, dari Nauban, yang di-shahih-kan oleh Hakim,
1: 130 dan disepakati okh al-Dzahabi.

16 Diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi, dan Ibn Majah
dari Ibn Mas'ud, Shahih. al-Jami', as-Shaghir, 1275

17 Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasai, Ibn Majah, Hakim
dari Abu Hurairah r a ( al-Jami', as-Shaghir, 1287)

18 Diriwayatkan oleh Hakim dan Baihaqi di dalam
al-Du'a,dari Anas, ibid., 1285

19 Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasai dan Ibn Majah
dari Abu Hurairah r.a., ibid., 1283

20 Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dari Sa'ad bin Abi
Waqqash.

21 Diriwayatkan oleh Ahmad dan di-shahih-kan oleh
Hakim, Ibn Hibban, dari Amr bin Ash.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar