SELAMAT DATANG.. AHLAN WA SAHLAH

Semoga Blog ini bisa bermanpaat dan memberikan manpaat

Senin, 19 April 2010

PLURALISME

Pluralisme agama, etnis, suku dan antar-golongan di negeri ini, merupakan realitas empirik yang tidak bisa dipungkiri. Karena itu, sejak dulu dikenal sebagai potensi berbangsa dan bernegara, sehingga founding fathers menetapkan Negara ini bukan menjadi negara agama atau negara sekuler. Pilihannya berada tepat di tengah-tengah antara keduanya. Persoalannya adalah, siapa yang memperkenalkan, dan memaknai selanjutnya, sehingga kenyataan pluralisme menjadi ruwet, baik memendam dendam kesumat yang tidak ada hentinya. Pluralisme (sering) diartikan dengan keragaman, kemajemukan. belakangan dalam hal budaya didekatkan dengan istilah multikultural merupakan suatu kata yang paling tepat untuk menggambarkan betapa kita hidup dalam ruang yang penuh dengan keragaman. Keragaman merupakan sunatullah pada kehidupan umat manusia, karena itu tidak ada kata untuk menolak pluralisme (kemajemukan) dalam bermasyarakat.
Terkait dengan negeri kita Indonesia, pilihan founding fathers bisa dibilang cukup tepat, untuk tidak mengatakan mutlak adanya dengan menjadikan Indonesia bukan menjadi sebuah negara agama (memang mayoritas berpenduduk Muslim) . Apa yang bakal terjadi, seandainya negeri ini dimerdekakan dengan bentuk negara agama, atau negara sekuler murni yang mengagungkan dimensi material unsich seperti dalam paham sekularisme. Bisa jadi perpecahan, ancaman disintegrasi bangsa, dan semacamnya telah bermunculan sejak awal republik ini ada. Struktur yang dipilih para pendiri bangsa juga dalam maknanya memberikan kebebasan pada penganut agama-agama untuk mengatur kehidupannnya sendiri, tanpa terjadi pendesakan-pendesakan pada agama tertentu tentang keyakinan dan ritual tertentu dari agama-agama. Para pendiri bangsa berjiwa besar dalam merumuskan tentang dasar dan bentuk negara yang sampai sekarang masih kita diami bersama bernama Indonesia.
a. Pengertian Pluralisme
Menurut Mouw dan Griffon Pluralisme secara lughawi berasal dari kata plural (Inggris) yang berarti jamak, dalam arti ada keanekaragaman dalam masyarakat, ada banyak hal lain di luar kelompok kita yang harus diakui. Lebih luas lagi, pluralisme adalah sebuah “ism” atau aliran tentang pluralitas (a pluralism is an “ism” about a “plurality”) (Ma’arif, 2005:11)
Menurut Nurcholis Madjid, pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama yang justru hanya menggambarkan kesan pragmentasi bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar kebaikan negative, hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan panatisme. Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalm ikatan-ikatan keadaban. (Rahman, 2001:31)
Secara garis besar, pengertian pluralisme, menurut Alwi Shihab dapat disimpulkan sebagai berikut; pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun, yang dimaksud pluralisme adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat dijumpai dimana-mana. Tapi seseorang baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi secara positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam kebhinekaan. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk suatu realitas dimana aneka ragam ras dan bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativisme akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai-nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya. Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama tersebut. (Ma’arif, 2005:14-15)

Pada dasarnya pengertian pluralisme seperti ini tidak menganggap bahwa tujuan yang ingin dicapai di depan adalah keseragaman bentuk agama. Sebab gagasan pluralisme keagamaan berdiri di antara pluralitas yang tidak berhubungan, dan kesatuan monolitik.
Perlu dicatat untuk dapat dijadikan sebagai pedoman, yang dimaksud dengan konsep pluralisme adalah suatu sikap saling mengerti, memahami, dan menghormati adanya perbedaan-perbedaan demi tercapainya kerukunan antar umat beragama. Dan dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama tersebut, umat beragama diharapkan masih memiliki komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing. Sikap pluralisme seperti inilah yang harus ditumbuhkembangkan pada generasi muda, melalui institusi-institusi semisal sekolah, supaya dapat melahirkan generasi-generasi muda yang pluralis, bermoral, dan beradab. Akan tetapi, persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana bentuk pendidikan yang mampu memberikan kontribusi positif bagi konsep pluralisme? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tentunya menyangkut landasan falsafah serta tujuan pembelajaran, komponen kurikulum yang mencakup metode mengajar, materi pelajaran, prasarana, dan media.
Abdul Muqsith Ghazali mengatakan bahwa pluralisme agama adalah suatu sistem nilai yang memandang keberagaman atau kemajemukan agama secara positif sekaligus optimis dengan menerimanya sebagai kenyataan (sunnatullah) dan berupaya untuk berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. (ICRP, 2009:288)


b. Islam dan Pluralisme
Dalam Islam berteologi secara inklusif dengan menampilkan wajah agama secara santun dan ramah sangat dianjurkan. Islam bahkan memerintahkan umat Islam untuk dapat berinteraksi terutama dengan agama Kristen dan Yahudi dan dapat menggali nilai-nilai keagamaan melalui diskusi dan debat intelektual/teologis secara bersama-sama dan dengan cara yang sebaik-baiknya, tentu saja tanpa harus menimbulkan prejudice atau kecurigaan di antara mereka.
              •            

Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan Katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu; dan Kami hanya kepada-Nya berserah diri. (Q.S. Al-Ankabut, 29:46)

Sejak kelahirannya, memang Islam sudah berada di tengah-tengah budaya-budaya dan agama lain. Nabi Muhammad SAW ketika menyiarkan agama Islam sudah mengenal banyak agama semisal Yahudi dan Kristen. Di dalam Al-Qur’an pun banyak dikemukakan rekaman kontak Islam serta kaum muslimin dengan komunitas-komunitas agama yang ada di sana.
Menurut Amin Abdullah Pada era kenabian Muhammad, masyarakat pluralistik secara religius telah terbentuk dan sudah pula menjadi kesadaran umum pada saat itu. Keadaan demikian sudah sewajarnya lantaran secara kronologis agama Islam memang muncul setelah terlebih dahulu dilalui oleh berkembangnya agama Hindu, Buddha, Kristen-Katolik, Majusi, Zoroaster, Mesir Kuno, maupun agama-agama lain. Untuk itu “dialog” antariman termasuk tema sentral yang mewarnai Al-Qur’an. (Ma’arif, 2005:37)

Menurut Al-Qur’an sendiri, pluralitas merupakan salah satu kenyataan objektif komunitas umat manusia, sejenis hukum Allah atau sunnah Allah, sebagaimana Firman Allah SWT:
 ••           •      •    

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. Al-Hujurot, 49:13

Kalu kita membaca dari ayat tersebut, secara kritis dan penuh keterbukaan, pastilah kita akan menemukan suatu kesimpulan bahwa Allah SWT sendiri sebenarnya secara tegas telah menyatakan bahwa ada kemajemukan di muka bumi ini. Perbedaan laki-laki dan perempuan, perbedaan suku bangsa; ada orang Indonesia, Jerman, Amerika, orang Jawa, Sunda atau bule, adalah realitas pluralitas yang harus dipandang secara positif dan optimis. Perbedaan itu, harus diterima sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin atas dasar kenyataan itu. Bahkan kita disuruh untuk menjadikan pluralitas tersebut sebagai instrumen untuk menggapai kemuliaan di sisi Allah SWT, dengan jalan mengadakan interaksi sosial antara individu, baik dalam konteks pribadi atau bangsa.
Kenapa kita diperintah untuk saling mengenal dan berbuat baik sama orang lain, meskipun berbeda agama, suku dan kulit dan dilarang untuk memperolok-olok satu sama lain? Jawabannya adalah bahwa hanya Allah yang tahu dan dapat menjelaskan di hari akhir nanti, mengapa manusia berbeda satu dari yang lain, dan mengapa jalan manusia berbeda-beda dalam beragama. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
…..          •                    

untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (Q.S. Al-Maidah, 5:48)

Bahkan konsep unity in diversity, dalam Islam telah diakui keabsahanya dalam kehidupan ini. Untuk mendukung pernyataan ini, kita dapat melacak kebenaranya dalam perjalanan sejarah yang telah ditunjukkan oleh al-Qur’an, bahwa Islam telah memberi karakter positif kepada komunitas non-Muslim, Ini bisa dilihat, misalnya, dari berbagai istilah eufemisme, mulai dari ahl al-kitab, shabih bi ah al-kitab, din Ibrahim sampai dinan hanifan. Dan secara spesifik, Islam malahan mengilustrasikan karakter para pemuka agama Kristen sebagai manusia dengan sifat rendah hati (la yastakbirun) serta pemeluk agama Nasrani sebagai kelompok dengan jalinan emosional (aqrabahum mawaddatan) terdekat dengan komunitas Muslim.
 •  ••          ••         •       

Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. dan Sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Kami ini orang Nasrani". yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena Sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri. (Q.S. Al-Maidah, 5:82)

Dalam kaitannya yang langsung dengan prinsip untuk dapat menghargai agama lain dan dapat menjalin persahabatan dan perdamaian dengan ‘mereka’ inilah Allah, di dalam al-Qur’an, menegur keras Nabi Muhammad SAW ketika ia menunjukkan keinginan dan kesediaan yang menggebu untuk memaksa manusia menerima dan mengikuti ajaran yang disampaikanya. sebagai berikut: “Jika Tuhanmu menghendaki, maka tentunya manusia yang ada di muka bumi ini akan beriman. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia, di luar kesediaan mereka sendiri? (Q.S. Yunus: 99). (Ma’arif, 2005:39)
Dari ayat tersebut tergambar dengan jelas bahwa persoalan kemerdekaan beragama dan keyakinan menjadi “tanggungjawab” Allah SWT, dimana kita semua dituntut toleran terhadap orang yang tidak sekeyakinan dengan kita. Bahkan nabi sendiri dilarang untuk memaksa orang kafir untuk masuk Islam. Maka dengan begitu, tidaklah dibenarkan kita menunjukkan sikap kekerasan, paksaan, menteror dan menakut-nakuti orang lain dalam beragama.
Apalagi kalau kita mau memahami secara benar, bahwa pada dasarnya menurut al-Qur’an, pokok pangkal kebenaran universal Yang Tunggal itu ialah paham Ketuhanan Yang Maha Esa, atau tauhid. Tugas para Rasul adalah menyampaikan ajaran tentang tauhid ini, serta ajaran tentang keharusan manusia tunduk dan patuh hanya kepada-Nya saja (Q. S. al-Anbiya’: 92) dan justru berdasarkan paham tauhid inilah, al-Qur’an mengajarkan paham kemajemukan keagamaan. Dalam pandangan teologi Islam, sikap ini menurut Budi Munawar Rahman (2001: 15), dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan kepada semua agama yang ada; bahwa semua agama itu pada mulanya menganut prinsip yang sama, dan persis karena alasan inilah al-Qur’an mengajak kepada titik pertemuan (Kalimatun sawa). (Ma’arif, 2005:39)
Implikasi dari kalimatun sawa’ ini menurut Alqur’an adalah: siapapun dapat memperoleh “keselamatan” asalkan dia beriman kepada Allah, kepada hari kemudian, dan berbuat baik. Jadi, dalam prespektif ini, al-Qur’an tidak mengingkari kasahihan pengalaman transendensi agama, semisal Kristen. Islam malah mengetahui dan bahkan mengakui daya penyelamatan kaum lain (termasuk Kristen) itu dalam hubunganya dengan lingkup monoteisme yang lebih luas: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan yang beragama Yahudi, Kristen, dan Shabiin, barang siapa dari mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan mengerjakan amal baik, maka mereka akan dapat ganjaran dari Tuhan mereka; dan tidak ada ketakutan dan tidak ada duka cita atas mereka” (Q.S 2: 62).
Hal itu sejalan dengan ajaran bahwa monoteisme merupakan dogma yang diutamakan dalam Islam. Monoteisme, yakni percaya kepada Tuhan yang Maha Esa, dipandang jalan untuk keselamatan manusia. Dalam al-Qur’an ayat 48 dan 116 surah al-Nisa’ menerangkan bahwa Allah tidak mengampuni dosa orang yang mempersekutukan Tuhan tetapi mengampuni dosa selainya bagi barang siapa yang dikehendaki Allah. Kedua ayat ini mengandung arti bahwa dosa dapat diampuni Tuhan kecuali dosa sirik atau politeis. Inilah satu-satunya dosa yang tak dapat diampuni Tuhan.
Abdul Azizi Sachedina mengatakan dengan demikian Alqur’an adalah jelas memandang dirinya sebagai mata rantai kritis dalam pengalaman pewahyuan umat manusia—satu jalan universal yang dimaksudkan untuk semua makhluk. Secara khusus, Islam juga memiliki etos biblikal dan Kristen, dan Islam memiliki sikap yang luar biasa inklusif terhadap Ahli Kitab, yang dengan merekalah Islam terhubungkan melalui manusia pertama di muka bumi. (Ma’arif, 2005:41)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar